Jika kita tidak melawan, perusahaan akan terus menduduki

Jika kita tidak melawan, perusahaan akan terus menduduki

Veronika mengatakan masyarakat merasa terganggu dengan kehadiran PT BPD sejak masa Orde Baru. Hanya saja saat itu mereka belum berani melawan.

Baru beberapa tahun terakhir, masyarakat mengaku berani melakukan perlawanan, terutama di lahan yang digarap PT TPL dan ditanami kayu putih yang berjarak beberapa ratus meter dari desanya.

“Apa yang kita perjuangkan itu wajar, selalu berpihak pada negara kita, taman negara kita,” kata Veronika.

Bentuk perlawanan masyarakat adalah dengan mengumpulkan benih sayuran dan buah-buahan untuk kemudian ditanam di lahan yang ingin https://desadigitalindonesia.com/ mereka lindungi. “Itulah yang dikatakan [perusahaan], tanah itu kita ambil karena kita melawan. Kalau tidak melawan, perusahaan akan terus mengambil kembali tanah itu. Siap untuk dicopot, dirusak. Saya tidak punya waktu untuk membiarkannya kosong. ,» jelas Veronika.

Artinya, mereka sering kali berkonflik dengan perusahaan dan pihak berwenang. Sepanjang tahun 2023, masyarakat didatangi perwakilan dan otoritas perusahaan lalu diperingatkan untuk tidak melakukan aktivitas di wilayah konsesi perusahaan.

“Kalau ada kecelakaan, kami jelaskan di tempat itu ada monumen yang letaknya sekitar tahun 1700 di makam nenek moyang kita di kaki gunung, tapi kenapa mereka lebih banyak mendengarkan TPL?

Ia mengatakan warga Desa Dolok Parmonangan akan terus melakukan perlawanan, meski saat ini mereka merasa penegakan hukum “lebih berpihak pada bisnis” dan pemerintah “kurang tanggap” terhadap aspirasi mereka.

Mereka berharap suatu saat pemerintah mengapresiasi izin konsesi PT TPL dan masyarakat mendapatkan hak atas tanahnya. Bahkan, mereka meminta pengakuan tersebut kepada pimpinan kecamatan, bupati, dan pemerintah pusat.

Masyarakat juga memetakan wilayah adatnya yang kemudian diverifikasi oleh Badan Restorasi Wilayah Adat (BRWA).

Pada tahun 2019, masyarakat Ompu Umbak Siallagan bertemu dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meminta agar wilayah adat mereka dibebaskan dari izin konsesi PT TPL. Namun sayang, hingga saat ini perjuangannya belum membuahkan hasil.

“Terakhir kali kita bertemu Menteri Siti Nurbaya pada tahun 2021 di Parapat, Pak Sorbatua ada di sana. Kami mengirimkan data agar dapat diproses dengan cepat. “Pemerintah saat itu berjanji akan segera mengatasi masalah tersebut, namun sampai saat ini belum terlaksana,” kata Hengky dari AMAN.

Sorbat tidak sendirian
Sorbatua bukan satu-satunya tokoh masyarakat adat yang disebut “dikriminalisasi” dalam konflik dengan PT TPL di sekitar kawasan Danau Toba.

Berdasarkan pemberitaan Kompas pada tahun 2022, sebanyak 93 masyarakat adat telah dianiaya dan 39 orang dipenjarakan dalam dua dekade terakhir.

Pada tahun 2022, seorang warga masyarakat adat Tukkonisolu di Desa Porsoburan Barat, Kecamatan Habissaran, Kabupaten Toba, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar oleh Pengadilan Negeri Balige. Ia dikutuk atas perusakan hutan karena menanam jagung dan kopi di lahan yang dianggap masuk wilayah jahit, namun tumpang tindih dengan wilayah konsesi PT TPL.

Ia kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan pada tingkat inilah Dirman dinyatakan tidak bersalah sehingga bisa dibebaskan.

Lain halnya dengan komunitas adat Sihaporas bernama Jonny Ambarita. Mereka divonis sembilan bulan penjara karena menganiaya karyawan PT TPL.

Hal ini merupakan hasil dari upaya mereka untuk melindungi tanah adat mereka. Di sisi lain, tudingan penganiayaan yang dilakukan pegawai PT TPL terhadap bocah bernama Mario Ambarita hingga kini tak kunjung terungkap.

Оставьте комментарий

Ваш адрес email не будет опубликован. Обязательные поля помечены *

Shopping Cart